Biografi K.H Hasym As’ari (Pendiri
Nahdlatul Ulama)
K.H Hasyim As'ari
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga
sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan
wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Riwayat Keluarga
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara.
Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan
keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra
ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai.
Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang.
Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada
di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan
dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Silsilah Nasab
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden
Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah
dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Menurut catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah
dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu
sebagai berikut:
Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Pendidikan :
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim
memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai
pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri
yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua
orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah
ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis,
Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di
Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan
kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak
usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain
Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren
Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan
di Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai
ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun–
Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri
kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja
mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah,
Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh
bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia
menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh
Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al
Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik
kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng,
Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan
pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual
hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Silsilah Keilmuan
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Penerus Beliau
(Murid) :
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah
lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai
Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas,
antara lain:
KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)
(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan
tingkat cucu
Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai
Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di
Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat,
yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid
Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat,
yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu,
Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub
Jasa dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya,
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada
Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim
juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar
itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH
Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah,
Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran
Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar
Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di
Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam
dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa
hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya
juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia
menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak
menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di
antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya
tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini
kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah
ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab
Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926
menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat.
Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai
dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin
Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia,
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa,
melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan
yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional
terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan,
sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun
1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau
Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar
(Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil
sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar
adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum
Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai
bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam
masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana
menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga
berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak
diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat
kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun
PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren
yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan
madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren
dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai
delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah,
yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan
bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka
Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang
dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang
ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada
saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia
atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga
saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin
mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang
lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai
persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon
petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga.
Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya,
KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah
mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu
orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul
Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan
sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar
setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar
ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah
agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu
belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang
menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan
tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai
Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut,
meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak
rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir
tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh
adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar,
Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim
semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan
jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban
yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah
meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi
tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya
kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak,
jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di
Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam
dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang
dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima
praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan
kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal
dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji
serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan
kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas
dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia,
kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di
Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh
untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri
dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit
memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para
Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi
”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul
Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan
membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH
Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik
Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng
terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai.
Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan
tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8
orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang,
Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu
perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh,
putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai
Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4)
Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8)
Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai
Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4
orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4)
Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian
kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik
Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah
dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim
sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang
melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan,
karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai
Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut
ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak
ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada
l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,
ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan
dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri
untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar
beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan
hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan
beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri
10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah
kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan
terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan
karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan
kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah
yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan
keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri
Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu
juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim,
Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai
Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan
santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid
Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang,
terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland
Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng
pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa
(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para
ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris
tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya
perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama
Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah
satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat
sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim
dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan
laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kyai Hasyim.
Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar,
KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan
Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba
berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan
niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar
dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu
Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak
gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah,
keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,
karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai
Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan
kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit
ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada
jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan
saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat
kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama,
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah
di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak
sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama
kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R
As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren
paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku
‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila
para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar)
kepada Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan
ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang
yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang
guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah
apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran
yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak
menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul
‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik
Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh
gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan
kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu
memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh)
disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai
khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan
berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari
Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis
dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH
Cholil Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin
tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih
mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu
shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang
diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan
sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar.
Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung
sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka
diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga
sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan
wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Riwayat Keluarga
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara.
Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan
keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra
ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai.
Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang.
Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada
di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan
dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Silsilah Nasab
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden
Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah
dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Menurut catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah
dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu
sebagai berikut:
Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Pendidikan :
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim
memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai
pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri
yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua
orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah
ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis,
Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di
Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan
kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak
usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain
Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren
Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan
di Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai
ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun–
Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri
kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja
mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah,
Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh
bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia
menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh
Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al
Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik
kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng,
Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan
pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual
hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Silsilah Keilmuan
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Penerus Beliau
(Murid) :
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah
lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai
Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas,
antara lain:
KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)
(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan
tingkat cucu
Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai
Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di
Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat,
yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid
Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat,
yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu,
Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub
Jasa dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya,
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada
Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim
juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar
itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH
Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah,
Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran
Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar
Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di
Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam
dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa
hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya
juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia
menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak
menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di
antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya
tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini
kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah
ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab
Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926
menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat.
Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai
dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin
Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia,
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa,
melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan
yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional
terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan,
sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun
1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau
Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar
(Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil
sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar
adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum
Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai
bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam
masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana
menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga
berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak
diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat
kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun
PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren
yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan
madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren
dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai
delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah,
yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan
bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka
Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang
dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang
ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada
saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia
atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga
saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin
mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang
lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai
persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon
petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga.
Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya,
KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah
mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu
orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul
Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan
sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar
setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar
ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah
agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu
belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang
menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan
tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai
Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut,
meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak
rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir
tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh
adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar,
Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim
semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan
jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban
yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah
meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi
tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya
kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak,
jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di
Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam
dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang
dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima
praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan
kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal
dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji
serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan
kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas
dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia,
kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di
Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh
untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri
dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit
memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para
Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi
”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul
Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan
membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH
Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik
Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng
terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai.
Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan
tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8
orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang,
Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu
perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh,
putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai
Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4)
Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8)
Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai
Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4
orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4)
Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian
kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik
Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah
dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim
sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang
melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan,
karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai
Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut
ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak
ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada
l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,
ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan
dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri
untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar
beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan
hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan
beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri
10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah
kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan
terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan
karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan
kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah
yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan
keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri
Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu
juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim,
Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai
Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan
santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid
Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang,
terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland
Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng
pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa
(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para
ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris
tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya
perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama
Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah
satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat
sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim
dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan
laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kyai Hasyim.
Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar,
KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan
Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba
berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan
niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar
dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu
Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak
gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah,
keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,
karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai
Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan
kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit
ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada
jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan
saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat
kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama,
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah
di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak
sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama
kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R
As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren
paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku
‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila
para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar)
kepada Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan
ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang
yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang
guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah
apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran
yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak
menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul
‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik
Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh
gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan
kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu
memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh)
disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai
khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan
berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari
Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis
dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH
Cholil Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin
tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih
mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu
shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang
diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan
sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar.
Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung
sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka
diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya
Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian
istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),”
jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin
untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai
Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan,
namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena
hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke
septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan
Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil
ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil
mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim,
Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau
akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena
yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian
hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena
Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya
karena gurunya ridho kepadanya.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya
Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian
istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),”
jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin
untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai
Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan,
namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena
hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke
septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan
Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil
ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil
mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim,
Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau
akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena
yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian
hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena
Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya
karena gurunya ridho kepadanya.